Senin, 09 Juli 2012

Ayah-ku

Assalamu'alaikum 

Kawan!.
Kugoreskan tulisan ini bukan untuk mempublikasikan ayahku (almarhum) yang pernah jadi selebritis, hehehe Tepatnya mungkin publik figur, soalnya beliau seorang aktor.  Opsss, tunggu dulu kawan. Janganlah cepat-cepat tertawa, atau galak sengeng cara Padang-nya.  

Benaran kok, aku tak bohong tentang ini. Ini kan soal ayahku, mana berani aku bohong tentang beliau. Beliau memang pernah jadi aktor. Beliau sendiri yang menceritakan, masih sangat segar dalam ingatanku. Bahkan sampai tiga kali beliau menceritakannya padaku, dua kali saat aku masih kelas enam SD dan sekali ketika sudah kelas satu SMP.    

Kawan-kawan tahukan, siapa itu aktor? Hahaha, pastilah tahu, percaya dech percayaaa. Seperti yang dijelaskan mamak Google, aktor itu pria yg berperan sebagai pelaku dalam pementasan cerita, drama, dsb di panggung, radio, televisi, atau film. Klopkan? Ayahku seorang pria, jadi nggak cocok kalau disebut aktris. hehehe.  Beliau pemeran utama pada sebuah sasaran Randai pada tahun 60-an di Tilatang Kamang. Sebuah group Randai yang hampir setiap Minggu mentas di panggung hiburan Tirtasari. Naaah, soal Tirtasari, pastilah banyak di antara kalian yang tak tahu bukan. Baiklah, kujelaskan sedikit seperti yang dijelaskan ayahku. 

Tirtasari, itu nama panggung hiburan yang terletak di tepian danau Sonsang. Sonsang, sebuah desa atau jorong di kaki bukit barisan Koto Tangah Tilatang Kamang. Dulu (akhir tahun 50-an s/d pertengahan tahun 60-an) panggung hiburan itu begitu ramai dikunjungi masyarakat setiap hari Minggu. Bupati Kabupaten Agam waktu itu juga sering datang ke sana. Bagaimana tidak, danau itu menyimpan beragam jenis ikan yang amat gurih rasa dagingnya. Setiap orang boleh saja menangkap ikan itu tanpa dipungut bayaran. Sambil memancing, dapat pula berbiduk bersampan ria. Sayang sekali, pertengahan tahun 60-an, dua remaja yang tengah asyik bercengkrama, tiba-tiba biduk mereka masuk ke pusaran air yang amat kencang. Mereka berdua lenyap dari permukaan air, lalu mengapung setelah jadi mayat. Sejak saat itu, Tirtasari jadi sekarat, lalu mati. Maka tamat pulalah riwayat keaktoran ayahku.

Aahh, sudahlah kawan, tak perlulah aku berpanjang betul soal Tirtasari itu, toh puing-puing kejayaannya juga sulit ditemukan hari ini, kecuali danaunya yang sudah bungin. Yang pasti, ia pernah menjadi tempat ayahku menapaki status jadi selebritis kampung. hehehe.

Kawan, tulisan ini kubuat sekedar menumpah kerinduanku yang membuncah pada beliau. Beberapa waktu yang lalu, aku ingat beliau. Ingat dalam arti rinduuu sekali. Entah apa penyebabnya, akupun tak tahu pasti. Padahal hampir setiap berdo'a, bagian dari baktiku sebagai anak, aku pintakan ampunan untuk beliau. Aku mohonkan pula pada Allah pemilik dunia dan akhirat, akan kenyamanan beliau di alam barzah. Hmmm, selama ini, sejak 'kepergian' beliau, boleh dikatakan setiap enam bulan sekali, aku bertemu dalam mimpi. Hanya saja, dalam setahun ini, aku tak pernah lagi berjumpa. Mungkin itu, ya mungkin itu yang menyebabkan aku tiba-tiba begitu rindu.

Yaaa, aku begitu rinduuu. Rindu pada suara tegasnya, rindu pada marahnya, rindu pula pada tatapannya. Ku akui, secara emosional aku tak begitu akrab dengan beliau. Ayahku memang begitu, seriusan. Kasih sayang beliau padaku sering diungkapkan dengan suara yang tegas, bahkan keras. Pernah pula kakiku balintah, kena lidi yang beliau pukulkan padaku karena kenakalanku. Tapi, sungguh, dari tatapan mata beliau saat melihatku, aku tau betul, beliau sangat menyayangiku. Begitu pula saat beliau kasak kusuk, cemas atau khawatir mencariku ke sana sini sampai tengah malam. Kala itu, aku tak mau pulang ke rumah, sehabis siangnya aku kena marah. Padahal aku sembunyi tak jauh dari rumah, sehingga aku masih sempat mengintip wajah cemas beliau karena belum juga menemukan anak bujang beliau.  Aku jadi kasihan juga, walau malam itu, aku memang tak pulang ke rumah.

Aah kawan. Sebagai anak laki-laki, aku memang tangka. Pernah pula ayahku itu ku 'ajak' pacu sepeda, lantas kutinggalkan beliau di belokan, lalu aku sembunyi di balik semak-semak di pinggir jalan bersama sepeda 'onta'ku. Sementara beliau terus mengayuh sepeda, dengan harapan anaknya sudah duluan sampai di rumah. Aku tak dapat membayangkan, betapa gurat kekecewaan memantul di wajah beliau, saat tak menjumpaiku di rumah. Padahal sudah tiga hari beliau mencariku yang tak pulang pulang. Amakku pun sudah menangis, kata beliau sebelum ku 'ajak' berpacu sepeda. Ayah..., maafkan aku, anak 'bujang'mu yang bandel ini.

Kawan!
Sungguhpun aku tak begitu akrab dengan beliau, aku sangat bangga dengan sosok ayahku. Sebagai kepala rumahtangga, beliau sangat bertanggungjawab, tentunya semampu beliau. Untuk memenuhi kebutuhan kami anak-anak beliau, karena belum ada cara lain, pernah berbulan-bulan berada di hutan maarik kayu. Sebagai laki-laki, beliau termasuk cerdas menurutku. Gimana tidak, sewaktu sekolah dua kali lompat kelas, satu kali semasa Sekolah Rakyat, dan sekali di SLTP. Alhamdulillah, kecerdasan itu pula yang menurun agaknya pada cucu beliau saat ini. Sebagai pemimpin, beliau sangat mengayomi masyarakatnya. Setahuku, di nagari-ku waktu itu, sebagai kepala desa beliau terlalu berani menghadapi todongan senjata api polisi, di kantor Polsek pula lagi. Ketika itu beliau tengah menjemput seorang warga yang ditangkap paksa oleh polisi, padahal kasusnya sudah diselesaikan secara kekeluargaan oleh ayahku.

Kemudian, sebagai seorang laki-laki Minang, sekalipun bukan seorang Penghulu/Datuak, beliau amat paham tentang seluk beluk adat di ranah yang beradat itu. Sebahagian telah beliau wariskan kepadaku dengan cara beliau pula. Masih sangat jelas dalam ingatanku,  pada hari-hari tertentu -terutama hari raya, semangat beliau mengayuh sepeda memboncengkan aku. Pergi mengunjungi  para dunsanak, lewat garis ibu ataupun bapak beliau. Lalu beliau perkenalkan aku pada mereka. Sambil menjelaskan, nan iko etek, mak uwo, apak, inyiak, dan sebagainya. Kata beliau, mereka juga dunsanakku. Jumlah mereka, wah banyak sekali. Tak hafal olehku semuanya. Sebagai seorang muslim, beliau wafat sesaat setelah melaksanakan shalat 'Ashar, walau dalam keadaan berbaring. Sebagai dan sebagainya lagi. Tak usahlah kusebutkan semuanya, nanti aku nampak kelewat membanggakan beliau. Tak baik pula kelihatannya. Yang pasti, beliau amat pantas kujadikan sebagai idolaku, setelah Muhammad SAW tentunya. 

Tetapi sayang sekali kawan. Sayang sekali. 
Beliau wafat pada usia yang sangat muda, sementara kami masih kecil-kecil. Beliau pergi sebelum sempat mengajarkan secara verbal hal-hal yang beliau 'miliki' kepadaku sebagai anak laki-laki. Padahal sebelumnya beliau telah berjanji untuk mengajarkan pada saat usiaku sudah 'cukup' menurut beliau. Beliau pergi terlalu cepat, jangankan untuk menimang cucu-cucu beliau, melihat kami dewasapun beliau tak pernah. Sementara aku, satu-satunya anak laki-laki beliau, juga belum sempat berbakti sekedar upaya membalas jasa jasa beliau. Bahkan sampai saat ini, ketika akupun telah jadi ayah bagi anak-anakku, sebagai wujud baktiku pada beliau, yang bisa kulakukan baru do'a. Ya, do'a yang kumohonkan pada Allah Ta'ala.  Di sisi lain, aku terlalu jauh dan lambat menapaki jejak kelelakian beliau. Jauh, jauh sekali.

Kawan!
Memory itulah yang menari-nari di pikiranku pagi itu. Di sebuah kota/kabupaten yang masih bersuhu dingin. Aku jadi tergugu, mataku terasa basah. Aku begitu rindu, rinduuu sekali. "Udaaa, kok wajahnya begitu, mengapa mata udaaa berkaca-kaca?", wanita yang amat kusayangi itu bertanya penuh kasih. Kupaksakan tersenyum padanya, lalu kupeluk ia dengan rasa cinta. "Tiba-tiba uda ingat ayah" jawabku setengah berbisik. Lalu kutatap wajah wanita itu. Wanita yang tak pernah mengenal ayahku, wanita yang juga tak sekalipun melihat wajah ayahku. Di luar dugaanku, tiba-tiba matanya menggenang. Lalu setetes merambat di sudut kedua matanya.  Perasaanku? Entahlah. Tak ada kosa kata yang dapat mengungkapkannya secara sempurna. 

AKU RINDUUU. Rindu pada ayahku. Rindu pada kelelakian beliau.

Catatan :
Galak sengeng = senyum kejut, yang juga bisa bermakna mengejek.
Mamak = paman
Sasaran = padepokan, tempat latihan yang juga sesekali dijadikan tempat pertunjukan
Randai = seni drama tradisional Minangkabau
Bungin = dangkal karena ditumbuhi rerumputan.
Balintah = memar dan bengkak bekas pukulan lidi.
Tangka = bandel
Amak  = ibu
Maarik = menggergaji
Nagari  = wilayah pemerintahan adat di Minangkabau
Penghulu/Datuak = kepala kaum dalam adat Minangkabau
nan iko = yang ini 
etek  = adik perempuan ayah
mak uwo = kakak perempuan ayah
apak = adik atau kakak laki-laki ayah
inyiak = orangtua laki-laki dari ayah 

Ciputat, Senin, 9 Juli 2012

Sabtu, 07 Juli 2012

Bukittinggi-ku

Bukiktinggi Koto Rang Agam,
satu sebutan untukmu, begitu istimiwa untukku
kau lah kota dalam ranah kelahiranku,
karenanya, kerinduan padamu tak pernah pupus.

Kota mungil nan indah,
bukit-bukit kecil dan lurahmu ditata unik oleh-Nya.
membuatku begitu asyik menelusuri seluruh kelok dirimu.

Sesak napasku menapaki jenjangmu yang empat puluh,
menguatkan urat-urat jiwaku, mengokohkan tulang-tulang kehidupanku.

kumandang azan Mesjid Raya di Pasa Ateh,
menyejukkan jiwa yang dibakar terik Matahari.
sembah sujud dalam rumah suci itu adalah ketentraman hati.

Duduk berjuntai di bawah maskot Jam Gadang
membuatku damai mamandang Singgalang dan Merapi.
melambungkan citaku yang selalu melampaui kedua puncak gunung itu.

berteduh di bawah keangkuhan Fort Decok-mu, ternyata menghadirkan kenyamanan,
naungan dedauan pinus bersama belaian anginnya adalah keheningan.

bergegas menuruni Pasa Lereng, membangkitkan selera kulinerku
katupek bagulai Kapau, lompong sagu jo lapek bugih, dimana lagi kudapatkan?
ahayyy, mengenangnya saja 'jakun'ku turun naik.

maka saat ku harus pulang ke 'rumah' nan abadi
lengkap sudah semuanya.

hmm, betapa bahagia
saat semua kujalani bersama-'mu'.


                              Padang, 30 April 2012.

Kota-ku