Selasa, 19 Juni 2012

Jujur, Sulitkah?

Masih segar dalam memoryku, dulu, ya beberapa tahun yang lalu. Saya dapat jatah mengawas ujian akhir semester di sebuah kampus, dimana saya dipercaya menjadi satu di antara banyak tenaga pengajarnya. Tak perlu pulalah saya sebutkan nama kampus itu, nanti jadi tak 'enak'. Kadang ngawas di semester satu, lain jam atau hari di smt tiga dan lima.

Dua hari pertama, sudah tiga orang mahasiswa/i yang “terpaksa” saya masukkan ke dalam Berita Acara Ujian. Ketiganya kedapatan melihat “jimat” saat menjawab soal-soal ujian. Saya yakin sekali, pembaca mengerti betul jimat yang saya maksudkan dalam hal ini. Ketiga mahasiswa yang saya katakan itu, dua orang smt satu dan seorang semester lima.

Seorang di antara yang semester satu tertunduk malu, ada juga raut penyesalan terpantul jelas di wajahnya.  Setelah selesai menjawab soal-soal ujian dan menyerahkan lembaran jawabannya, ia menemui saya di luar kelas. Sambil menangis, ia berktata ; "Pak maafkan saya ya, saya salah. Lain kali takkan saya ulangi lagi. Tapi tolong Pak, jangan dimasukkan nama saya dalam Berita Acara Ujian itu", pintanya memelas. Kentara sekali ia mernyesal dan begitu takut tak lulus dalam mata kuliah tersebut. Saya jadi kasihan, apalagi ia berjanji tak akan mengulanginya lagi. Saya begitu tersentuh melihat genangan air matanya dan tatapannya yang nanar tak bisa menjawab pertanyaan saya ; mengapa harus lihat cacatan?

Tiba-tiba nurani saya berbisik; bila benar-benar kasihan dan ingin melihatnya berubah, maka biarkan saja namanya tercatat dalam BAU. Yakinlah, kegagalannya dalam mata kuliah itu akan membuatnya terpelanting ke dalam kawah kejujuran. Itu cara kasihan yang paling tepat.

Semula aku meragukan bisikan itu. Semudah itukah cara merubah sikap seseorang, bukankah penjara seringkali didiami oleh terhukum yang sama?.Sama dalam pengertian, berulang kali dipenjara. Tetapi pengalaman hidupku menguatkan bisikan itu. Ada banyak orang yang berubah sikapnya, prilakunya bahkan jalan hidupnya, setelah “dipaksa” berubah. Walau wujud “keterpaksaan” itu beragam munculnya, ada yang karena orang lain, keadaan dan oleh dirinya sendiri. Akhirnya saya katakan pada mahasiswi itu; "Bila kamu benar-benar menyesal, jadikan pengalaman ini untuk yang terakhir dalam hidupmu. Terakhir mendustai diri sendiri, dan terakhir gagal dalam mata kuliah". Saya berlalu, diiringi tatapan matanya yang masih nanar.

Hebatnya, dua mahasiswa/i lainnya, masih begitu pede dan masih sempat tersenyum, walaupun itu senyuman kecut. Tak ada tundukan malu, tak ada permintaan maaf, apalagi genangan air mata. Bersikap seperti tak terjadi peristiwa apa-apa. Hmm, dahiku berkerut, hatiku bertanya. Mengapa???

Malam hari, setelah nonton berita tentang kasus Antasari dan bank Century, sebelum mata terpejam, hatiku masih diliputi berbagai pertanyaan. Begitu sulitkah untuk bersikap jujur dalam hidup ini? Begitu pentingkah sebuah prestise ketimbang prestasi bagi manusia? Apakah prestise berbanding lurus dengan hargadiri? Sehingga harus mendustai diri dan juga orang lain, bahkan Tuhanpun kadang kita dustai? Jujur itu memang sulit, jujur itu memang mahal. Terutama untuk orang-orang pelit dan terlebih lagi bagi orang-orang yang terlalu mencintai harta dan juga "tahta".

Satu sisi hatiku berkata; kamu juga pernah bohong kan! Sisi lain hati hati menjawab; ya, bebrapa kali malah, tetapi sudah sama-sama kita rasakan akibatnya?. Kedua sisi hatiku serentak berkata; apapun itu yang dicapai tidak dgn kejujuran, maka manisnya akan jadi hambar. Hanmbar seperti ampas yang jadi sampah. Maka siapakah yang mau makan makan sampah? Hanya orang-orang yang menjadi “sampah” masyarakatlah yang senang makan ’sampah’. Aaah, semoga saya tetap punya kekuatan untuk selalu bersikap jujur.
                       Edisi Revisi, 20 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar