Senin, 18 Juni 2012

Dia telah Tiada, tapi masih "Hidup"

Suatu pagi, ba’da subuh, telepon di rumahku berdering, sesuatu yang sebelumnya jarang terjadi.
“Udaa, Inyiak nelpon”, jelas ibu anak-anakku. Aku yang baru keluar dari kamar mandi bergegas mengangkat gagang berkabel itu. Benar, suara lelaki tua yang sering dipanggil Inyiak (kakek) begitu jelas tertangkap telingaku.
“Assalamu’alaikum ustadz, lah rindu bana Inyiak jo ustadz kini mah (sudah kangen betul Inyiak dengan ustadz)”, kalimat ramah penuh semangat menyentuh hangat gendang telingaku. Sejak aku mengenalnya, lelaki tua itu memang seorang yang bersikap ramah pada siapa saja, gaya bicaranya hangat namun penuh kesantunan. Sifat bijak seorang yang telah berusia matang terpantul jelas dari cara dan kosa kata yang ia ucapkan.
“Wa'alaikumsalam warahmatullahiwabarakatuh. Samo-samo rindu kito Nyiak, apo kaba Inyaik pagi ko?” jawabku mengimbangi keramahannya. Oh ya, lelaki yang kupanggil Inyiak ini adalah seorang pengurus dan juga imam di mesjid Nurul Islam di kawasan Ulak Karang Kota Padang. Mesjid yang mana satu tahun terakhir ini sudah beberapa kali saya diminta datang untuk berbagi dengan para jama’ahnya.
(untuk tdk menyulitkan sahabat pembaca blog ini, pembicaaran saya dengan Inyiak yang menggunakan bahasa Minang, saya Indonesia-kan saja).
“Kabar baik ustadz, mewakili jama’ah, kami mengharap ustadz datang maghrib nanti untuk memberikan taushiyah ta’ziah”, jelas Inyiak di seberang sana.
“Maghrib nanti Nyiak?, waduh saya ada acara Nyiak”, jawabku agak menyesal. Ma’af, kegemaranku main badminton (jadwalnya ba’da maghrib Rabu malam dan malam Minggu) membuatku menolak permintaan beliau secara halus.
“Ustadz, tolonglah kali ini, yang meniggal ini tidak sekedar jama’ah saja, tetapi juga mantan pengurus mesjid, dan juga tokoh panutan jama'ah dan masyarakat di komplek kita ustadz, almarhum bernama H. A. Karim Mahmudy, mungkin ustadz pernah dengar nama beliau”,  desak Inyiak.
 "Tapi saya ada acara sudah maghrib ini Nyiak, lagian almarhum kan tetap manusia biasa juga Nyiak", ucap saya sedikit bercanda sambil tetap mencoba untuk mengelak.
"Benar ustadz, tapi almarhum satu ini berbeda dengan kebanyakan manusia lain, ustadz bisa mengetahuinya nanti, datanglah", jelas Inyiak, dan itu membuatku jadi penasaran. 
Singkat cerita, akhirnya saya penuhi permintaan Inyiak. Bukan, bukan karena yang meninggal itu tokoh masyarakat yang membuat saya berubah pikiran. Bukan pula karena mengharap isi amplop yang biasa diberikan sebelum saya berbagi dengan jama’ah. Saya tahu betul berapa isi amplop itu, tak cukup untuk beli bensin 10 liter, pengganti bahan bakar kendaraan yang kupakai untuk datang dan kembali lagi. Sungguh, saya ingin tahu apa kelebihan hamba yang almarhum itu. Kelebihan yang hanya sedikit orang dapat memeilikinya. Sehingga (sebagaimana keterangan Inyiak) rumahnya tak pernah sepi dari jama’ah yang datang melayat dari berbagai mesjid dan kompleks perumahan, setelah hampir seminggu ia mengadap Tuhan-nya.
Selesai shalat maghrib di mesjid Nurul Islam, kami jalan kaki menuju rumah duka. Selama perjalanan berjarak kurang lebih 400 meter itu, aku menggali informasi tentang almarhum dari beberapa orang jama’ah. Bergantian mereka menjelaskan sosok yang kami bicarakan. Tentang ibadahnya yang demikian tekun, bahkan saat uzur dan sakit, ia masih saja berjama’ah di mesjid, walau hanya sambil duduk. Tentang semangat dan aktifitasnya yang tak pernah surut membangun “kehidupan” beberapa mesjid di Ulak Karang dan di kampungnya juga. Tentang cara ia memperlakukan semua orang. Tentang kebiasaannya yang suka berbagi, tentang sifatnya yang pemaaf pada orang-orang yang telah merugikannya secara materil, maupun moril. Tentang kronologis kematiannya. Tentang ………   dan tentang ………. dan banyak lagi.
Terus terang, semua membuat saya jadi “iri”, semua membuat saya “cemburu”, semua membuat saya jadi makin 'kecil'. Saya yang dipanggil ustadz oleh sebahagian orang, belum apa-apa dibanding ia.
Sampai di rumah duka, dari sikap anak-anaknya, cucu-cucunya, dan juga para pelayat jama’ah ta’ziah, Sangat 'dirasakan' betapa almarhum masih 'hidup'. Ia seolah-olah berada di tengah-tengah kami, seakan-akan ia masih hidup dan menyambut hangat kedatangan kami di rumahnya. Sebagaimana hangatnya jabat tangan anak-anak almarhum menerima kedatangan kami. Tidak ada gurat kekecewaan sedikitpun di raut wajah anak-anak almarhum. Yang ada hanyalah rasa kehilangan, kehilangan ayah mereka secara fisik.
Maka sungguh benar kata Allah ; Janganlah kamu katakan (kira) orang-orang yang mati/wafat di jalan Allah, mereka mati, bahkan mereka sesungguhnya hidup ….. (QS. 2;154).
Ah, begitu banyak contoh yang pernah kita ketahui, bahwa seseorang akan selalu hidup dalam kenangan orang-orang yang ia tinggalkan. Berbanding lurus dengan banyak kebaikan-kebaikan yang ia semai selama hidupnya. Saya jadi teringat dengan Buya Hamka, membaca tafsir Al-Azhar yang beliau tulis ketika di penjara, memahami buku Falsafah Hidup dan Ayahku, seakan ia bicara berhadapan dengan kita. Saya juga terkenang dengan Imam Al-Ghazali, tokoh besar dalam dunia intelektual muslim. Saat membaca Ihya Ulumuddin yang ia tulis ratusan tahun lalu, seakan baru kemaren ia mengarangnya untuk kita. Ingat pulalah Mahatma Ghandi, Bunda Theresa, Nelson Mandela, Soekarno-Hatta, M. Natsir, dan banyak lagi. Mereka masih 'hidup' sampai saat ini. Setidaknya bagi orang-orang yang merasakan kontribusi 'kebaikan' mereka. Apalagi Nabi Muhammad Saw.  
Ya Rabb, janganlah engkau matikan aku, dan orang-orang yang aku cintai, sebelum kami bisa hidup “selamanya”.
Sebagaimana hidupnya Muhammad Saw., para sahabat, Hamka, Bunda Teresia, dan juga Sinar sigadis kecil yang menghidupi ibunya.
                                        Ciputat, Revisi kalimat, 18 Juni 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar