Kamis, 28 Juni 2012

Kala Kurindu

Kekasih ...
Sungguh aku tak mengerti
logika apa yang harus kupakai ntuk menjelaskan tentang rinduku padamu
ketika gemuruh keinginan makin deras,
kata-kata makin menyempit
kata-kata jadi membatu,
ia tak lagi mampu menampung segenap rasaku

ketika derunya menghempas relung-relung hatiku
akupun seperti membatu, dingin
bagaikan karang dibalut asinnya laut.
yang terlihat hanyalah kilauan sisa air yang menetes
dibakar matahari
tanpa suara, apalagi kata-kata.

maka bila saatnya tiba
sesaat matamu tak menangkap bayanganku
saat gemuruh rasa tak lagi dapat kutahan
aku membenamkan diri ke dalam lautan Jiwa
asal dari segala jiwa-jiwa yang ada
kepada-Nya pula tempat kembali jiwa kita.
pada-Nya aku tengah mengadu
tentang izin-Nya akan rasaku padamu

tak usah pula kau selami
sehingga dirimupun hampir membeku
tunggu saja aku di bibir pantai itu

percayalah ...
aku kan pasti mengapung bersama cintaku  
melanjutkan perjalanan kita

maka ketika aku kembali berada di sisimu
senyum nakalku kan kembali menggodamu
senyum nakal yang kau suka
lalu, yang ada hanyalah kita.

               Ciputat, Juni 2012

Kamis, 21 Juni 2012

Rinduku pada-Mu

kembali kulabuhkan pincalang hidup
ke haribaan-Mu
bukan karena laut terlalu buas
untuk sebuah pelayaran
bukan karena badai terlalu ganas
untuk sebuah tantangan
rindu pada-Mu lah yang tak kunjung padam
walau siang berganti malam
saat malam makin kelam, ia makin menghunjam
Rabb ………
bukankah tak ada diam yang memberi tenang
tak ada sepi yang membuah haru
selain dalam dekapan-Mu?
ingin kugunungkan rindu
hingga menjulang Sidrathul munthaha-Mu
sampai menggetarkan Arsy-Mu
ketika menghambakan diriku
Rabbi …
adakah tempat bagi jiwa yang nelangsa
untuk membalut duka menghapus dosa?
Rabbi …
adakah rinduku jadi taubatku?
(ditulis; Tigo ruang 030390)
{Balai Baru ; 310110}

Selasa, 19 Juni 2012

Jujur, Sulitkah?

Masih segar dalam memoryku, dulu, ya beberapa tahun yang lalu. Saya dapat jatah mengawas ujian akhir semester di sebuah kampus, dimana saya dipercaya menjadi satu di antara banyak tenaga pengajarnya. Tak perlu pulalah saya sebutkan nama kampus itu, nanti jadi tak 'enak'. Kadang ngawas di semester satu, lain jam atau hari di smt tiga dan lima.

Dua hari pertama, sudah tiga orang mahasiswa/i yang “terpaksa” saya masukkan ke dalam Berita Acara Ujian. Ketiganya kedapatan melihat “jimat” saat menjawab soal-soal ujian. Saya yakin sekali, pembaca mengerti betul jimat yang saya maksudkan dalam hal ini. Ketiga mahasiswa yang saya katakan itu, dua orang smt satu dan seorang semester lima.

Seorang di antara yang semester satu tertunduk malu, ada juga raut penyesalan terpantul jelas di wajahnya.  Setelah selesai menjawab soal-soal ujian dan menyerahkan lembaran jawabannya, ia menemui saya di luar kelas. Sambil menangis, ia berktata ; "Pak maafkan saya ya, saya salah. Lain kali takkan saya ulangi lagi. Tapi tolong Pak, jangan dimasukkan nama saya dalam Berita Acara Ujian itu", pintanya memelas. Kentara sekali ia mernyesal dan begitu takut tak lulus dalam mata kuliah tersebut. Saya jadi kasihan, apalagi ia berjanji tak akan mengulanginya lagi. Saya begitu tersentuh melihat genangan air matanya dan tatapannya yang nanar tak bisa menjawab pertanyaan saya ; mengapa harus lihat cacatan?

Tiba-tiba nurani saya berbisik; bila benar-benar kasihan dan ingin melihatnya berubah, maka biarkan saja namanya tercatat dalam BAU. Yakinlah, kegagalannya dalam mata kuliah itu akan membuatnya terpelanting ke dalam kawah kejujuran. Itu cara kasihan yang paling tepat.

Semula aku meragukan bisikan itu. Semudah itukah cara merubah sikap seseorang, bukankah penjara seringkali didiami oleh terhukum yang sama?.Sama dalam pengertian, berulang kali dipenjara. Tetapi pengalaman hidupku menguatkan bisikan itu. Ada banyak orang yang berubah sikapnya, prilakunya bahkan jalan hidupnya, setelah “dipaksa” berubah. Walau wujud “keterpaksaan” itu beragam munculnya, ada yang karena orang lain, keadaan dan oleh dirinya sendiri. Akhirnya saya katakan pada mahasiswi itu; "Bila kamu benar-benar menyesal, jadikan pengalaman ini untuk yang terakhir dalam hidupmu. Terakhir mendustai diri sendiri, dan terakhir gagal dalam mata kuliah". Saya berlalu, diiringi tatapan matanya yang masih nanar.

Hebatnya, dua mahasiswa/i lainnya, masih begitu pede dan masih sempat tersenyum, walaupun itu senyuman kecut. Tak ada tundukan malu, tak ada permintaan maaf, apalagi genangan air mata. Bersikap seperti tak terjadi peristiwa apa-apa. Hmm, dahiku berkerut, hatiku bertanya. Mengapa???

Malam hari, setelah nonton berita tentang kasus Antasari dan bank Century, sebelum mata terpejam, hatiku masih diliputi berbagai pertanyaan. Begitu sulitkah untuk bersikap jujur dalam hidup ini? Begitu pentingkah sebuah prestise ketimbang prestasi bagi manusia? Apakah prestise berbanding lurus dengan hargadiri? Sehingga harus mendustai diri dan juga orang lain, bahkan Tuhanpun kadang kita dustai? Jujur itu memang sulit, jujur itu memang mahal. Terutama untuk orang-orang pelit dan terlebih lagi bagi orang-orang yang terlalu mencintai harta dan juga "tahta".

Satu sisi hatiku berkata; kamu juga pernah bohong kan! Sisi lain hati hati menjawab; ya, bebrapa kali malah, tetapi sudah sama-sama kita rasakan akibatnya?. Kedua sisi hatiku serentak berkata; apapun itu yang dicapai tidak dgn kejujuran, maka manisnya akan jadi hambar. Hanmbar seperti ampas yang jadi sampah. Maka siapakah yang mau makan makan sampah? Hanya orang-orang yang menjadi “sampah” masyarakatlah yang senang makan ’sampah’. Aaah, semoga saya tetap punya kekuatan untuk selalu bersikap jujur.
                       Edisi Revisi, 20 Juni 2012

Menggulung Waktu

telah ku kejar matahari,
agar ia memburu bulan
sebab siang dan malam terlalu lama berpisah.
sementara bintang merindukan pendar-pendar pelangi.

akan ku gulung waktu,
seperti ketika muncul gerhana
dimana bulan dan matahari bersatu.
tapi, gemuruh rasa tetap saja menyesak dada
sebab denting waktu nadanya masih saja sama.

               Balai Baru, 30 Maret 2012.
               Inspirasi dari'mu'.

Lembaran Kisah Kita (4)

Dinda...
inilah lembaran baru kisah kita,
yang  kita mulai rajut bersama,
di saat kaki-kaki masih terlalu kaku
terikat cerita masa lalu.

Tak apa,
toh cerita itu akan luruh bersama waktu
maka biarkan saja segala yang menggoda
berlalu di sisi langkah kita

Dinda, ...
mari kita memburu waktu
bersama kepak sayap kasih kita.
sebab bulan sudah menunggu
ntuk mengantarkan kita pada kisah nan abadi.

         Untuk 'mu'.
        Ciputat, 13 Mei 2012.

Senin, 18 Juni 2012

Dia telah Tiada, tapi masih "Hidup"

Suatu pagi, ba’da subuh, telepon di rumahku berdering, sesuatu yang sebelumnya jarang terjadi.
“Udaa, Inyiak nelpon”, jelas ibu anak-anakku. Aku yang baru keluar dari kamar mandi bergegas mengangkat gagang berkabel itu. Benar, suara lelaki tua yang sering dipanggil Inyiak (kakek) begitu jelas tertangkap telingaku.
“Assalamu’alaikum ustadz, lah rindu bana Inyiak jo ustadz kini mah (sudah kangen betul Inyiak dengan ustadz)”, kalimat ramah penuh semangat menyentuh hangat gendang telingaku. Sejak aku mengenalnya, lelaki tua itu memang seorang yang bersikap ramah pada siapa saja, gaya bicaranya hangat namun penuh kesantunan. Sifat bijak seorang yang telah berusia matang terpantul jelas dari cara dan kosa kata yang ia ucapkan.
“Wa'alaikumsalam warahmatullahiwabarakatuh. Samo-samo rindu kito Nyiak, apo kaba Inyaik pagi ko?” jawabku mengimbangi keramahannya. Oh ya, lelaki yang kupanggil Inyiak ini adalah seorang pengurus dan juga imam di mesjid Nurul Islam di kawasan Ulak Karang Kota Padang. Mesjid yang mana satu tahun terakhir ini sudah beberapa kali saya diminta datang untuk berbagi dengan para jama’ahnya.
(untuk tdk menyulitkan sahabat pembaca blog ini, pembicaaran saya dengan Inyiak yang menggunakan bahasa Minang, saya Indonesia-kan saja).
“Kabar baik ustadz, mewakili jama’ah, kami mengharap ustadz datang maghrib nanti untuk memberikan taushiyah ta’ziah”, jelas Inyiak di seberang sana.
“Maghrib nanti Nyiak?, waduh saya ada acara Nyiak”, jawabku agak menyesal. Ma’af, kegemaranku main badminton (jadwalnya ba’da maghrib Rabu malam dan malam Minggu) membuatku menolak permintaan beliau secara halus.
“Ustadz, tolonglah kali ini, yang meniggal ini tidak sekedar jama’ah saja, tetapi juga mantan pengurus mesjid, dan juga tokoh panutan jama'ah dan masyarakat di komplek kita ustadz, almarhum bernama H. A. Karim Mahmudy, mungkin ustadz pernah dengar nama beliau”,  desak Inyiak.
 "Tapi saya ada acara sudah maghrib ini Nyiak, lagian almarhum kan tetap manusia biasa juga Nyiak", ucap saya sedikit bercanda sambil tetap mencoba untuk mengelak.
"Benar ustadz, tapi almarhum satu ini berbeda dengan kebanyakan manusia lain, ustadz bisa mengetahuinya nanti, datanglah", jelas Inyiak, dan itu membuatku jadi penasaran. 
Singkat cerita, akhirnya saya penuhi permintaan Inyiak. Bukan, bukan karena yang meninggal itu tokoh masyarakat yang membuat saya berubah pikiran. Bukan pula karena mengharap isi amplop yang biasa diberikan sebelum saya berbagi dengan jama’ah. Saya tahu betul berapa isi amplop itu, tak cukup untuk beli bensin 10 liter, pengganti bahan bakar kendaraan yang kupakai untuk datang dan kembali lagi. Sungguh, saya ingin tahu apa kelebihan hamba yang almarhum itu. Kelebihan yang hanya sedikit orang dapat memeilikinya. Sehingga (sebagaimana keterangan Inyiak) rumahnya tak pernah sepi dari jama’ah yang datang melayat dari berbagai mesjid dan kompleks perumahan, setelah hampir seminggu ia mengadap Tuhan-nya.
Selesai shalat maghrib di mesjid Nurul Islam, kami jalan kaki menuju rumah duka. Selama perjalanan berjarak kurang lebih 400 meter itu, aku menggali informasi tentang almarhum dari beberapa orang jama’ah. Bergantian mereka menjelaskan sosok yang kami bicarakan. Tentang ibadahnya yang demikian tekun, bahkan saat uzur dan sakit, ia masih saja berjama’ah di mesjid, walau hanya sambil duduk. Tentang semangat dan aktifitasnya yang tak pernah surut membangun “kehidupan” beberapa mesjid di Ulak Karang dan di kampungnya juga. Tentang cara ia memperlakukan semua orang. Tentang kebiasaannya yang suka berbagi, tentang sifatnya yang pemaaf pada orang-orang yang telah merugikannya secara materil, maupun moril. Tentang kronologis kematiannya. Tentang ………   dan tentang ………. dan banyak lagi.
Terus terang, semua membuat saya jadi “iri”, semua membuat saya “cemburu”, semua membuat saya jadi makin 'kecil'. Saya yang dipanggil ustadz oleh sebahagian orang, belum apa-apa dibanding ia.
Sampai di rumah duka, dari sikap anak-anaknya, cucu-cucunya, dan juga para pelayat jama’ah ta’ziah, Sangat 'dirasakan' betapa almarhum masih 'hidup'. Ia seolah-olah berada di tengah-tengah kami, seakan-akan ia masih hidup dan menyambut hangat kedatangan kami di rumahnya. Sebagaimana hangatnya jabat tangan anak-anak almarhum menerima kedatangan kami. Tidak ada gurat kekecewaan sedikitpun di raut wajah anak-anak almarhum. Yang ada hanyalah rasa kehilangan, kehilangan ayah mereka secara fisik.
Maka sungguh benar kata Allah ; Janganlah kamu katakan (kira) orang-orang yang mati/wafat di jalan Allah, mereka mati, bahkan mereka sesungguhnya hidup ….. (QS. 2;154).
Ah, begitu banyak contoh yang pernah kita ketahui, bahwa seseorang akan selalu hidup dalam kenangan orang-orang yang ia tinggalkan. Berbanding lurus dengan banyak kebaikan-kebaikan yang ia semai selama hidupnya. Saya jadi teringat dengan Buya Hamka, membaca tafsir Al-Azhar yang beliau tulis ketika di penjara, memahami buku Falsafah Hidup dan Ayahku, seakan ia bicara berhadapan dengan kita. Saya juga terkenang dengan Imam Al-Ghazali, tokoh besar dalam dunia intelektual muslim. Saat membaca Ihya Ulumuddin yang ia tulis ratusan tahun lalu, seakan baru kemaren ia mengarangnya untuk kita. Ingat pulalah Mahatma Ghandi, Bunda Theresa, Nelson Mandela, Soekarno-Hatta, M. Natsir, dan banyak lagi. Mereka masih 'hidup' sampai saat ini. Setidaknya bagi orang-orang yang merasakan kontribusi 'kebaikan' mereka. Apalagi Nabi Muhammad Saw.  
Ya Rabb, janganlah engkau matikan aku, dan orang-orang yang aku cintai, sebelum kami bisa hidup “selamanya”.
Sebagaimana hidupnya Muhammad Saw., para sahabat, Hamka, Bunda Teresia, dan juga Sinar sigadis kecil yang menghidupi ibunya.
                                        Ciputat, Revisi kalimat, 18 Juni 2012.

Minggu, 17 Juni 2012

Surat Cinta Untuk Anak-anak-ku (2)

Anakku Fadel Muhammad dan Reihani Jemila.
Assalamu'alaikum Warahmatullahiwabarakatuh.

Malam ini ayah ingin menulis lagi untuk kalian, ya khusus untuk kalian berdua.
Ayah ingin mengucapkan selamat pada kalian berdua. Siang tadi (Minggu, 17 Mei 2012) kalian menjadi peserta Khatam Qur'an di komplek kediaman kita, nun jauh di Padang sana, setidaknya jauh dari mata ayah. Ayah bangga dan bahagia, kalian bisa Khatam Qur'an. Sebuah prosesi budaya religius masyarakat kita, yang dulu ketika seumur kalian, ayah tak sempat jadi pesertanya.

Ayah tahu nak, kebahagiaan kalian hari ini memang tak lengkap karena ketidakhadiran ayah di sisi kalian berdua. Bertapa besar keinginan ayah untuk bersama kalian saat itu, mengantarkan kalian berdua ke Mesjid Raya Darussalam, mengikuti arak-arakan sekeliling komplek kita, memberikan air minum ketika kalian kehausan dalam perjalanan arak-arakan itu, memberikan suport saat tiba giliran kalian untuk melantunkan bacaan ayat-ayat suci al-Qur'an di podium tilawah. Sayang sekali, ayah berada jauh dari mata kalian, sungguhpun begitu kasih sayang dan do'a do'a ayah tak pernah berjarak dari diri kalian. Ayah berharap, belaian kasih sayang ibu dan adik kalian, perhatian etek, mak uwo dan juga nenek kalian bakal menyempurnakan kebahagian hari ini.

Anak-ku. 
Bagi ayah tak begitu penting, kalian jadi juara atau tidak dalam prosesi itu, sebab juara membaca al-Qur'an bukanlah tujuan. Ayah juga tak mewariskan bakat seni suara dalam darah kalian berdua. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita memahami dan mengamalkan pesan-pesan yang ada di dalamnya. Pesan-pesan penuh cinta dari Allah, Tuhan kita. Tuhan yang kita yakini hidup dan mati kita berada dalam genggaman kuasa dan kasih sayang-Nya. Tuhan yang pada saatnya nanti kita semua pasti 'kembali' kepada-Nya, sebab kita memang "berasal" dari-Nya. Tak ada tempat lain untuk "kembali" nak, bahkan orang kafirpun 'berpulang' kepada-Nya juga. Bedanya hanyalah soal cara Allah 'menyambut' hamba-Nya yang datang dengan penuh cinta dan dengan hamba yang datang dengan tangan hampa, tanpa amal, apalagi cinta kepada-Nya.

Duhai permata hatiku.
Percayalah, isi al-Qur'an itu adalah pesan-pesan penuh cinta dari Pemilik Cinta Sejati pada para hamba-Nya. Yakin pulalah kalian, tak ada pesan dari Sang Pecinta yang tidak bermanfaat bagi yang dicintai-Nya. Oleh sebab itu, kita harus menerimanya dengan cinta pula. Membacanya, mempelajarinya, memahaminya dan mengamalkannya juga dengan cinta. Bila kita memperlakukannya dengan penuh cinta, maka kebahagiaan akan dilimpahkan kepada kita. Tak ada cinta yang bertaut yang tidak menghadirkan kebahagiaan,. Apalagi cinta Allah dengan cinta hamba-Nya.

Tetapi duhai anakku, perlu kalian ketahui ....
Cinta kepada Allah tak bisa tumbuh dan berkembang subur dengan seketika. Ia butuh pemeliharaan, pupuk, siraman amal ibadah sepenjang waktu, bahkan juga perjuangan yang meminta pengorbanan. Dan itu selayaknya dilakukan sejak manusia kecil, bukan saat kita telah dewasa saja, apalagi bila sudah tua. Bahkan cinta antar manusia bila hanya muncul saat sudah tua saja, tidak lagi membara, apalagi penuh dinamika.
Oleh sebab itu anakku, ayah begitu bangga, bahagia dan penuh harap, sejak kecil  -ketika kalian sudah bisa membaca al-Qur'an- setiap ba'da Maghrib, kalian bertiga sudah dibiasakan membaca al-Qur'an bersama-sama, sementara ayah dan ibu memperhatikan dan memberi tahu kalau ada bacaan kalian yang keliru. Ayah berharap kebiasaan itu menjadi.pupuk untuk cinta kalian pada Tuhan kita.

Analk-ku,
Seorang ahli tafsir bernama Muhammad Quraish Shihab pernah menulis; "al-Qur'an itu ibarat batu intan, ketika ia diasah dari sudut manapun, ia akan memantulkan cahaya yang demikian indah". Cahaya yang menghadirkan gemuruh cinta bagi siapa saja yang melihatnya, apalagi yang mengetahui betapa berharganya batu mulia itu. Siapapun yang membaca dan mempelajari al-Qur'an dengan sungguh-sungguh, ia akan memperoleh sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Sekalipun orang-orang yang mempelajari al-Qur;an itu saling berbeda tingkat pemikiran dan latar belakang pendidikannya atau ilmunya. Al-Qur'an akan selalu jadi hidayah bagi setiap orang dalam perjalalan hidupnya. Ia juga akan selalu jadi obat hati, baik dikala sedih, menderita, bahkan di saat seseorang begitu gembira atau terlalu bahagia.
Maka kelak, apapun profesi yang bakal kalian jalani, bagi ayah tak jadi persoalan, selagi profesi itu adalah baik. Yang penting bagi ayah, saat kalian menjalaninya, nafas al-Qur'an selalu hadir pada setiap langkah kehidupan kalian. Kalau sudah begitu, ayah takkan pernah meragukan kalian, sebab kalian kan selalu berada dalam lindungan rahmat Allah yang pasti mencintai kalian sebagai hamba-Nya.
Ayah kan tetap berupaya dan selalu berdo'a, agar hidup kalian penuh dengan CINTA.

                          Ciputat, 17 Juni 2012. 

Sabtu, 16 Juni 2012

Lembaran Kisah Kita (3)

Dinda…
ceritamu tentang lembaran kisah lama itu,
yang sebenarnya tak seberapa,
telah merekahkan ribuan kuncup kelopak rasa,
yang dulu berderik dalam kerontang rongga jiwa.

Dinda ….
sejak saat itu,
kau dan aku duduk berjuntai di dunia kaca
menggapai ujung-ujung pelangi
yang muncul dibalik rinai dalam terpaan mentari.
dua jendela hati kita makin berpendar-pendar,
seakan tak pernah mau menutup hari.
seiring kuncup yang merekah menebar wangi.

Dinda ….
ujung-ujung pelangi itu …,
melengkung, membentuk kata “cinta”
“Udaa, mari masuk ke dalamnya”, katamu,
kurangkul dirimu dalam palunan rasa,
Kau dan Aku lenyap tak bersisa,
yang ada hanyalah kita,
yaa, hanya ‘kita’.

Lubuk Lintah, 7/2-2012.

Rabu, 13 Juni 2012

Lembaran Kisah Kita (2)

Kau...
masih saja memagut lengan kiriku,
dari dua bibirmu cerita terus bergulir ;

Udaaa ...
semilir itu membawaku pergi,
melintasi sungai, pulau, juga laut
menyeruak di antara kabut dan debu
berlari dalam sengatan terik matahari
dan palunan malam yang membeku.

Udaaa ...
dari musim ke musim perjalanan kami,
semilir itu makin kehilangan irama
bahkan juga nada.
saat menyapu daun-daun kehidupan
ia tak lagi berdendang ria
apalagi membisikkan cinta.

Udaaa ....
ia biarkan aku mengapung
bersama dua sayap kehidupanku
yang baru tumbuah dalam perjalanan kami,
sementara semilir itu larut dalam angin
tanpa tenaga.

Udaaa ...
aku mengepak dua sayap kehidupanku,
sendiri!!!,
mencoba mencari nada dan irama.
tanpa ia yang kehilangan rasa.

Udaaa ...
lalu aku menangkap bayanganmu
yang melintas di antara kemilau lembayung senja.
aahhh ...
ternyata potret senyum nakalmu
tak pernah bisa kutinggalkan di jalan setapak itu.
           
             (malam Jum'at, menjelang subuh)
             Balabaru, 13/1-2012


          

Lembaran Kisah Kita (1)

Kemaren,
Kau merayuku membuka lembaran kisah lama kita,
yang sebenarnya tak seberapa.
Mengajakku menyusuri jalan setapak yang pernah kita lalui,
sambil bergayut di lengan kiriku, kau bercerita ;

Udaaa....
di pertigaan ini, kita sering berpapasan,
aku selalu mencuri pandang senyum nakalmu.
diam-diam kumasukkan potret senyum itu
dalam album usang,
kusimpan pada kisi-kisi hati yang paling dalam,
yang rasanya tak munkin kubuka lagi,
sebab kemudian kau pergi seperti angin
meninggalkan sepenggal kerinduan.

Udaaa ....
Sejak kepergianmu,
di sepanjang jalan setapak ini,
aku sering menunggu senyum nakalmu
kau tak pernah datang lagi,
sepertinya kau memang pergi seperti angin,
entah kapan kan kembali, menerpa mukaku.

Kau cubit kecil lenganku, lanjutmu lagi ;
Udaaa…
Sampai padi di sepanjang sisi jalan ini menguning,
kau tak jua datang,
kemudian semilir lain menerpa diriku.

Balaibaru, 11/1-12

Selasa, 12 Juni 2012

SURAT CINTA UNTUK ANAK-ANAKKU


Duhai ketiga buah hatiku …

Sore ini ba’da maghrib di kediaman ayah, seusai menghambakan diri pada-Nya,
ayah tulis surat ini untuk menumpahkan segala kerinduan pada kalian.

Sekalipun hampir setiap menjelang Isya, kita saling melepas rindu dari jarak jauh. Ternyata kecanggihan teknologi informasi bikinan manusia, tak seutuhnya mampu menyalurkan segala kerinduan yang selalu bergemuruh ingin memeluk kalian bertiga.
Kerinduan pada belahan jiwaku,  yang takkan pernah pupus, walau dibatasi rentang ruang dan waktu.
Kerinduan pada buah hatiku,  yang takkan pernah lapuk sepanjang hidupku..
Kerinduan pada titisan diriku, yang takkan pernah punah didera kepahitan hidup.
Kerinduan yang selalu mengusung harapan pada diri kalian.

Sulungku, Fadel Muhammad!

Seringkali kupanggil dirimu ‘Buyung” sambil menepuk pundakmu, sebagai ungkapan segenap harapanku padamu sebagai satu-satunya anak lelakiku. Kuingin, kelak dirimu tumbuh menjadi seorang laki-laki. Laki-laki nak, bukan jantan. Laki-laki yang tunduk pada segala keredhaan Tuhannya. Laki-laki yang mampu menegakkan kepala memandang dunia. Laki-laki yang dihormati, karena amat menyayangi orang-orang yang bersentuhan hidupnya denganmu. Laki-laki yang disegani, karena selalu menjaga harga diri. Kelak saat dirimu jadi ‘laki-laki’, aku takkan minta apa-apa darimu, sebab semua itu telah membuatku bangga sebagai ayahmu.  Kelak saat diriku renta, insyaallah aku takkan merepotkanmu duhai anakku. Do’a-do’amu yang khusyu’ kepada-Nya sudah cukup buatku.

Bidadari kecilku, Reihani Jemila dan Gheniya Helima!

Kalian berdua adalah “lubuak hati pamenan mato”. Pelepas penatku sepulang kerja.
Seringkali kupanggil dirimu berdua “upiak banun”, sebagai ungkapan curahan kasih sayangku pada kalian.

Sengaja kuberi kalian nama yang indah. Indah tidak hanya enak didengar gendang telinga, tetapi di dalamnya penuh doa pada Yang Maha Kuasa. Moga kelak kalian tumbuh menjadi bidadari yang anggun. Anggun nak, bukan cantik, bukan pula manis ataupun kamek. Bagi ayah, dalam kata “anggun” sarat dengan makna ; seorang wanita yang memiliki nilai-nilai etika dan estetika yang merujuk pada ajaran Tuhan kita, Allah SWT.

Malam ini adalah malam yag ke sekian ayah memendam rindu pada wajah lugu kalian, pada senyum riang, pada gelak tawa kalian saat kucandai. Masih sangat jelas terukir pada memory ayah, betapa damainya saat kalian berdua –bersama-sama ataupun bergantian- berada dalam pelukan ayah. Berebut memeluk dan menciumi muka ayah, muka yang makin lama bakal makin keriput. Bahkan saat di antara kalian terlelap dalam pangkuan ayah, lalu ayah gendong kalian ke tempat kalian istirahat sampai subuh tiba. Tempat yang sangat sederhana, sesederhana kemampuan ayah menyediakan fasilitas materi untuk kalian bertiga. Tapi sungguh, rasa cinta dan kasih sayang ayah pada kalian bertiga, tidak dan tidak akan pernah sederhana.

Bidadariku…

Tumbuhlah menjadi wanita shalehah. Wanita yang makin menunjukkan bahwa Islam itu memang sangat indah. Indah untuk dunia, indah pula untuk akhirat.
Jadilah penyempurna laki-laki yang kelak ditakdirkan Tuhan menjadi junjungan kalian. Jadilah ibu yang lembut dan bijak untuk cucu-cucu ayah. Yang lewat belaian kasih kalian mereka tumbuh menjadi mujahid dan mujahidah. Mujahid itu pejuang nak, jadi bukan orang yang suka perang, apalagi teroris. Pejuang yang bersungguh-sungguh menghadapi kompetisi hidup. Setiap kompetisi pastilah ada pemenangnya. Maka orang-orang yang selalu berupaya menjaga kebersihan jiwanya di hadapan Tuhan dan juga para hamba-Nya, itulah pemenangnya. Orang-orang yang selalu berupaya memberikan kontribusi terbaik untuk orang-orang yang bersentuhan hidupnya dengan mereka, itu juga pemenangnya. Karena itu, ajari mereka dengan kelembutan kasih sayangmu. Kasih sayang seorang wanita. Maka kelak mereka bakal menjadi manusia-manusia yang penuh kasih pada siapapun juga.

Anakku belahan jiwa …
Kelak bila kalian telah menjadi “anggun”, itulah kebahagiaan ayah. Bila nanti ayah telah menjadi renta, tak usah kalian belikan ayah baju, sepatu ataupun makanan dengan harga ratusan ribu. Tak usah nak, ayah tak mementingkan itu. Cukup sudah bagi ayah, kalian menjadi “anggun” dalam redha Tuhan kita.

Bidadari ku …
Ada saatnya untuk sementara kita dibatasi rentang ruang, maka tak apa untuk waktu yang singkat ini, ayah hanya bisa memeluk kalian dari jauh. Kelak bila saatnya tiba, ayah rentangkan tangan ntuk memeluk kalian penuh cinta.
Tidurlah lelap lah kalian malam ini, besok-besok ayah kan tulis surat lagi.
Ciputat, Juni 2012.