Senin, 25 Januari 2016

Dian 1

Dian...
Aku bukanlah mentari yang pasti hadir disetiap pagi yang dijanjikan
lalu lenyap ditelan ufuk barat
Aku hanyalah pelaut yang terus melarung dalam deru ombak dan badai
menuju tepian pulau cita
maka bisa saja pusaraku kelak bernisankan karang
atau bertabur bunga di atas gundukan tanah merah

Dian ...
Aku tahu pasti, kau memaku di tepian itu
memandang tiang layarku yang terkadang hilang tertutup gelombang
berharap jangkar perahu kecilku menancap di pinggir dermaga itu.

Dian ...
ada gemuruh yang tetap bergelora di jiwa
yang mendorongku ntuk terus berkayuh, menuju dermagamu
lalu merengkuhmu dalam hangatnya cahaya jingga
agar gigil yang kau tahan perlahan sirna, hilang dalam palunan rasa

Dian ....
Kerinduanmu kadang bertunas karang karang tajam
menggores perut bidukku yang tetap saja sarat dengan keringat

Dian ...
Aku tertatih.
Tapi godaan lambaian tanganmu, binar cerah matamu, senyum hangat bibirmu, adalah bara yang terus membakarku untuk berkayuh menuju tepian itu.
Tetap ataupun tidak kau terpaku di sana, toh layar ini sudah ku bentangkan.
Sebelum awan merah jingga itu lenyap, ia akan menggambarkan badai yang menengglamkanku
atau aku yang menunggangi gelombang
lalu berlabuh di landai pantai kita.

Lubuk Lintah, 210415

Sabtu, 11 Mei 2013

Pewaris Cita


senja kali ini
semburat lembayung makin kentara
aroma karang juga kian terasa
seperti sore sore sebelumnya
pasang dan surut kan bertukar lagi.

tak ada yang berubah sebenarnya
kalian tetap pewaris cita
seperti jantung yang terus berdetak dalam dada

bagaimana munkin takkan begitu?
lubuk hati tepian mata
tak kering dimakan usia
sebab kalianlah segala muara
muara dari segala cinta tulusku
yang mengalir deras di pembuluh darahku

Kelak langkahku makin tertatih
teruslah melangkah
sejauh yang kalian mampu
jauh dari apa yang telah kuraih.

Bila tiba saatnya untukku,
hanya satu saja pintaku
do'a kalian pada Yang Maha Satu
sebab jiwaku tak seputih salju.

"Untuk kalian beriga"
Ciputat, 12/03/2013

Minggu, 20 Januari 2013

Dirimu Kini?


di manakah dirimu kini?
lenggang jalanku terasa sumbang!
manakala kau tak lagi bergayut
serasa ada yang lepas
luruh bagai daun daun kering.

di manakah dirimu kini?
hari-hariku dikungkung sunyi
manakala manja dan centilmu
tak lagi mancandaiku
semua makin membisu
akankah sampai membatu?

ke manakah kau kan pergi?
bila pegangan kau lepaskan kini
maka aku kan tinggal sendiri
tanpa siapa-siapa lagi
sebab semua kau bawa pergi.
yang tinggal hanya sepi

Sendiri!
apa gunanya lagi?

(dalam kesendirian)
Balai Baru, 17/1-13

Oo Saluang Tolong Sampaikan

Dalam gurimik sambia duduak
Bapasan denai ka Tukang Saluang
Usahlah jari salah garitiak
Biakan dendang mambaco untuang

Ooo saluang nan bagiriak ampek
Ambuihkan malah angin nan elok
Kok untuang lai ka dapek
Luruihkan jalan nan bakelok

Oo dendang nan bacarito
sampaikan bana ka gunjainyo
nak sajuak hati jo kiro kiro
nyampang padam kalam palito
indaklah ado ka gantinyo
nyato luluah sampai ka pusaro.

Oo talang buluah sarueh
balubang ujuang jo pangka
di tangah-tangah bagiriak pulo
kok badan buliah den ureh
sayang tagantuang ka jadi baa
antah kok sansai kaduonyo
                             Ciputat, 11-12-12

Jumat, 14 Desember 2012

Lembaran Kisah Kita (6)


Dinda …
jalan ini munkin masih panjang
sebab perhentiannya belum nampak di ujung sana
atau munkin juga sudah dekat
sebab embun yang turun sejak pagi
menghalangi kejernihan pandangan kita

Seperti katamu ;
Segalanya serba munkin,
Maka ketika langkahku terpaku karena waktu
semua yang ada padaku telah kau tau
Maka kuharap ;
sesekali, nafasmu meniup langit
agar embun tetap turun
ikut membasahi kuncup-kuncup yang mesti kutinggalkan

Namun bila saatnya tiba untukmu,
ketika waktu membawamu pada keabadian
semampuku, akan kukepakkan sayap-sayap  mungilmu
biar mereka terbang bersama,
mengukir namamu di langit cita.

khawatirku ;
bila lelah memerangkap kita,
lalu langkahmu harus memilih jalannya,
sementara Jelaga kasih yang kita jujung berdua
belum sempat kita jernihkan bersama.

Dengan seluruh kerendahan diri,
kuharap Kemurahan-Nya
bakal membeningkan jiwa ini
sebelum masuk ke Pelukan-Nya?

Ciputat, 13-12-12

Rabu, 14 November 2012

Lembaran Kisah Kita (5)

Dinda,
lembaran kisah ini masih kita pintal bersama
semestinya memang kita selesaikan berdua
sampai kedua tangan tak lagi mampu merajutnya

menyusuri liku perjalanan ini
selalu saja menggairahkan bersama'mu'
walau nafas kita kadang tersengal pada pendakian
toh semilir juga datang membawa kesejukan

secangkir teh hangat yang kau suguhkan
disetiap persinggahan kita
selalu saja menghangatkan dada
seperti mentari di kala subuh
yang mengusir dinginnya udara malam

Dinda,
malam pasti bakal melahirkan siang
seperti maut yang melahirkan kehidupan
maka tak guna kita meragu
kemanapun kita melangkah
tak ada jalan yang tak berliku.

Ciputat, 14/11-12

Selasa, 04 September 2012

Tasawuf falsafi di Nusantara Abad ke XVII M (2)


Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka adalah guru-murid. Abdul Azis juga membenarkan pendapat A. Hasymy bahwa hubungan Hamzah dengan Syamsuddin sebagai murid dan khalifah, karena menurutnya telah dijumpai dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah terhadap pengajaran Hamzah yaitu : Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Pemberian makna “Tiada wujud selain Allah” pada kalimat tauhid la ilaha illa Allah hanya dilakukan oleh kalangan sufi penganut paham wujudiyyah saja, dan itu menjadi ciri khas yang membedakan kalangan penganut paham wujudiyyah dengan kalangan sufi lainnya. Pengakuan bahwa tidak ada wujud selain Allah disebut dalam pengajaran Syamsuddin sebagai tauhid hakiki (al-tawhid al-haqiqi) atau tauhid yang murni (al-tawhid al-khalish). Menurutnya, tauhid hakiki atau tauhid murni itu baru ada pada seseorang jika ia mengakui bahwa tidak ada pelaku atau pembuat selain Allah, tidak ada yang ditaati atau disembah selain Allah dan tidak ada wujud selain Allah.
Dalam hal ini Syamsuddin mengingatkan pengikutnya tentang perbedaan pendirian mereka sebagai penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin) dengan kaum yang ia sebut sebagai orang-orang zindiq. Menurutnya kedua pihak itu sepakat dalam hal menetapkan maksud kalimat tauhid la ilaha illa Allah, yakni tiada wujud selain Allah, sedangkan wujud sekalian alam adalah bersifat bayang-bayang, majazi atau fatamorgana.
Bagi kaum zindiq, wujud Tuhan tidak ada kecuali dengan kandungan wujud alam seluruhnya; semua wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam. Baik dari segi wujud maupun dari segi ta’ayyun-ta’ayyun (penampakan-penampakan). Mereka menetapkan kesatuan hakiki dalam kejamakan alam tanpa membedakan martabat Tuhan dengan alam.
Paham demikian, menurut Syamsuddin adalah paham batil, tidak benar dan ditolak oleh penganut tauhid yang benar. Berdasarkan pendapat ini terkesan jauh hari sebelum Nuruddin al-Raniry mengkritik paham Syamsuddin sebagai mulhid, ia sendiri telah menjelaskan bahwa mana wujudiyyah mulhid dan mana yang muwahhid.
Pengajaran paham wujudiyyah juga dikenal dengan “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya ini agaknya sama dengan yang diajarkan al-Buhanpuri, yang diduga kuat sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori. Ketujuh martabat tersebut adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat alam insan.
Al-Buhanpuri pernah mengingatkan bahwa sebutan martabat ketuhanan tidak boleh dipakaikan untuk martabat alam dan begitu pula sebaliknya. Akan tetapi dalam karya al-Burhanpuri tidak dijelaskan secara implisit tentang itu. Syamsuddin sebagai penganut paham martabat tujuh ini di Nusantara telah mengkategorikan martabat ketuhanan dan martabat kemakhlukan. Secara eksplisit dalam karya Syamsuddin terlihat tiga martabat, pertama disebut anniyat Allah, yaitu martabat wujud aktual Allah, sedangkan empat martabat berikutnya disebut anniyah al-Makhluq, yaitu martabat wujud aktual makhluk.
Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam. Dalam pengajaran Hamzah Fansuri dikenal dengan la ta’ayyun. Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Alllah, yang merupakan kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur-adukkan martabat ketuhanan dengan martabat kemakhlukan.
3. Respon dan Pengaruh Paham Tasawuf Falsafi di Nusantara Pasca Hamzah dan Syamsuddin.
Ternyata Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani pada prinsipnya dikategorikan termasuk dalam aliran pemikiran yang sama, keduanya merupakan pendukung terkenal penafsiran mistikofilosofis wahdat al-Wuju. Walaupun sedikit ada perbedaan penekanan, keduanya sangat dipengaruhi terutama oleh Ibn ‘Arabi. Konsep inti ajaran mereka adalah kehadiran alam ini disebabkan serangkaian proses penampakan diri Tuhan. Ide ini pada perkembangan selanjutnya mendorong para penentang seperti al-Raniri untuk menuduh mereka sebagai panteis.
Dalam pandangan Nuruddin, pembahasan tentang wujud Allah dapat dibagi dua: wujudiyyah muwahhid dan wujuddiyah mulhid. Hamzah digolongkan pada wujudiyyah mulhid dan disebut zindiq. Menurut Aziz Dahlan, Syamsuddin bersama pengikutnya tidak menyebut diri sebagai penganut paham wujudiyah, apalagi mulhid. Mereke yakin berada dalam tauhid yang benar dan memandang diri sebagai golongan al-muwahhidin al-shiddiqin.
Sepanjang menyangkut tuduhan itu, menurut Azyumardi Azra para peneliti terbagi dua pula. Pertama, peneliti Barat seperti Winstedt, Johns dan Bariend, berpendapat bahwa ajaran dan doktrin Hamzah dan Syamsuddin sesat. Kleim ini mendorong Abdul Aziz Dahlan untuk membuktikan bahwa ajaran Syamsuddin dan gurunya Hamzah, bisa dipertanggungjawabkan secara teologis. Kedua, al-Attas, menyatakan bahwa sebenarnya ketiga pemikiran Hamzah, Syamsuddin dan Al-Raniri adalah sama, ia tidak menyebut ajaran Hamzah dan Syamsuddin sesat. Pada gilirannya al-Attas malah menuduh al-Raniri melakukan distorsi dan menyebarkan fitnah dan tidak memahami wujudiyyah. Asumsi al-Attas ini mengobsesi Ahmad Daudi untuk menjelaskan pada dunia bahwa al-Raniri punya logika pembenaran sendiri yang menurutnya wajar kalau ia menuduh Hamzah dan Syamsuddin sesat. Tapi menurut Azra al-Attas buru-buru mengklarifikasi pendapatnya dalam buku yang berjudul “A Comentary on the Siddiq al-Nur al-Din al-Raniri” terbit tahun 1986, berarti sesudah tesis Daudi terbit. Dalam karya tersebut al-Attas memuji al-Raniri sebagai orang yang dikaruniai kebijakan dan diberkati dengan pengetahuan yang orisinil yang berhasil menjelaskan doktrin yang keliru.
Tidak juga bisa dikatakan dengan munculnya al-Raniri yang mengkritik dan “membumi hanguskan” paham tasawuf falsafi, lantas paham ini lenyap dan punah. Berdasarkan penelitian Taufik Abdullah, setelah Sultan Iskandar Tsani wafat tahun 1642, tampil Syafiyatuddin Syah (1942-1975) permaisuri Iskandar Tsani yang menggantikannya. Diberitakan pada waktu itu Nuruddin al-Raniri meninggalkan Aceh sambil tergesa-gesa, menurut Bustan al-Salathin, seperti tercatat dalam diary opper-koopman Belanda, mangkatnya Iskandar Tsani memberikan kesempatan pada golongan moderat (Syamsuddin) untuk bangkit melawan arus intoleransi dan anti intelektual yang dilancarkan al-Raniri. Tampil pada waktu itu Syeikh Saifulrijal, ulama Minang, sebagai penasehat Sultanah atau ratu di Aceh dan menyebarkan pahamnya.
Jadi pada abad ke 16-17 M di Nusantara berkembang paham tasawuf falsafi yang bukan hanya di Aceh tapi di bagian wilayah lainnya di Nusantara. Meskipun ada usaha-usaha untuk menerapkan syari’ah – suatu yang tidak bisa dipisahkan dari lingkup Islam pada abad itu. Tulisan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin memberi dorongan pada kecenderungan ini, tidak bisa disimpulkan secara blak-blakan bahwa mereka mengindahkan syari’ah. Mereka telah membeirkan sumbangan pada kehidupan religio-intelektual kaum Muslimin abad ke-16 dan 17 M. (Penulis : Tenaga Pengajar IAIN Imam Bonjol Padang dan STKIP Padamg Sumatera Barat).

Tasawuf falsafi di Nusantara Abad ke XVII M (1)


Pendahuluan
Islam sufistik dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam serta khazanah intelektual Islam di Nusantara merupakan salah satu wacana yang masih menarik untuk dibincangkan. Hal ini tidak hanya disebabkan awal masuknya Islam ke Indonesia -sebagaimana ‘disepakati’ para ahli sejarah- bernuansa tasawuf. Namun juga dikarenakan adanya luka-luka sejarah dalam perkembangan Islam di negeri gemah ripah loh jinawi ini yang terkait langsung dengan issu Islam esoteris.
Eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar pada abad ke 15 M di Jawa oleh Wali Songo, pembunuhan terhadap para penganut paham wahdah al-wujud di Serambi Mekah -Aceh- atas fatwa qadhi kesultanan yang waktu itu dijabat Al-Raniri, adalah luka yang akan tetap meninggalkan codet dalam lembaran sejarah Islam di Indonesia. Selanjutnya, budaya masyarakat Nusantara yang amat kental dengan dunia mistik -terutama sejak masuknya Hindu dan Budha dari India- merupakan faktor yang tidak bisa dikesampingkan yang membuat semakin menariknya wacana ini.
1. Tasawuf Falsafi di Dunia Islam
Tasawuf falasafi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam untuk mengembangkan kesucian bathin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.
Ulama pertama yang dapat dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w. 319/931) yang muncul dari Andalusia. Sekaligus dia dapat dianggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia Islam. Pandangan filsafatnya adalah emanasi yang mirip dengan emanasi Plotinus.
Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya dari belenggu/penjara badan dan memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaran hati dengan nur Tuhan. Suatu ma’rifah yang memberikan kebahagiaan sejati. Ia juga menganut pandangan bahwa kehidupan di akhirat bersifat ruhani, sehingga di akhirat kelak manusia dibangkitkan ruhnya saja, tidak dengan badan. Pandangan yang amat mirip dengan penyataan Ibnu Sina tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat.
Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsasi adalah Suhrawardi al-Maqtul, sufi yang dibunuh di Aleppo pada tahun 587/1191, -karena pandangannya yang telah keluar dari Islam menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.
Bila tasawuf sunni (akhlaki) memperoleh bentuk yang final di tangan Imam Al-Gazali, maka tasawuf falsafi mencapai ‘puncak’ kesempurnaan dalam pengajaran Ibn Arabi, seorang sufi yang juga datang dari Andalusia. Pengetahuan Ibnu Arabi yang amat kaya dalam bidang keislaman dan lapangan filsafat, membuatnya mampu menghasilkan karya yang demikian banyak, di antaranya al-Futuhad al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Boleh dikatakan hampir semua pengajaran, praktek dan ide-ide yang berkembang di kalangan sufi pada masa itu mampu diliput dan kemudian diberinya penjelasan yang amat memadai.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Menurutnya wujud itu hanyalah satu ; yaitu wujud yang berdiri dengan dirinya sendiri, itulah Tuhan, Zat Yang Maha Benar. Alam yang banyak sekalipun mempunyai wujud, namun dia tidak berwujud dengan wujud sendiri, melainkan berwujud dengan wujud Allah. Wujud alam adalah khayal, maksudnya bila ia kelihatan sebagai wujud yang berdiri sendiri, maka sesungguhnya ia berwujud dengan wujud Tuhan. Oleh sebab itu kemudian dikatakan bahwa wujud Tuhan dengan wujud alam adalah satu, bukan dua atau banyak. Alam yang banyak dan beraneka ragam adalah manifestasi atau penampakan dari wujud Tuhan yang satu. Dari segi hakekat, alam tidak lain dari Tuhan. Sedangkan dari sudut manifestasi, alam benar-benar berbeda dengan Tuhan. Alam bukanlah Tuhan dan tidak sama dengan Tuhan.
Ada banyak tokoh sufi filosof yang muncul setelah meninggalnya Ibnu Arabi di Damaskus. Di antara yang terkenal adalah ; al-Qunawi, al-Farqani, al-Qaishari, Jalaluddin Rumi dan al-Jili dan lain-lain. Tasawuf bercorak falsafi ini kemudian memperoleh tanah yang subur, terutama di Persia. Umumnya kalangan Syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah Dua Belas dapat menerima dan membenarkan paham ini.
Tasawuf falsafi yang telah mencapai puncak di tangan Ibnu Arabi, yang kemudian berkembang di tangan para sufi filosof sesudanya, menyebar hampir ke seluruh dunia Islam dengan jaringan sebagaimana yang diungkapkan Azyumardi Azra dalam “Jaringan Ulama”nya. Lewat jaringan itu pula tasawuf falsafi masuk ke Indonesia yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh sufi filosof yang juga tidak sepi dari ungkapan syhathahad-¬nya. Seperti Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, yang kiprah keduanya akan dibicarakan pada pembahasan berikut.
Dibanding dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi lebih kaya dengan ide-ide dan pikiran-pikiran tentang Tuhan dan alam metafisik. Ide-ide yang oleh para sufinya dipandang tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, termasuk dalam hal ini ungkapan syathahad-nya. Sementara tasawuf sunni tidak mementingkan ide-ide dan pikiran spekulatif dalam tataran falsafah. Para sufi sunni sudah merasa cukup dengan pemahaman akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu tauhid. Persoalan qadim-nya alam, kehidupan akhirat yang bersifat ruhani tidak terdapat dalam kajian tasawuf sunni, karena dipandang tidak benar, menyalahi apa yang diajarkan para mutakallimin.
2. Tasawuf Falsafi di Nusantara

Wacana tasawuf falsafi di Nusantara agaknya dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatera) pada abad ke 17 M. Sekalipun pada abad ke 15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandang menganut doktrin sufistik yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akan kesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak.
Namun sejauh ini penulis belum menemukan literatur yang menjelaskan apakah paham yang dianut Syekh Siti Jenar adalah wahdatulwujud yang berasal dari Ibnu Arabi lewat ‘jaringan ulama’ sebagaimana dimaksud Azra dalam bukunya tersebut. Terlebih lagi terlalu sedikit literatur yang menjelaskan keberadaan sosok Syekh Siti Jenar dalam khazanah keislaman di Nusantara. Paling tidak menurut Alwi Shihab, kehadiran Syekh Siti Jenar dengan ajaran dan syathahad-nya yang dipandang sesat, dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia. Alwi menamakannya sebagai tahap perkenalan. Pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar agaknya telah meredupkan cahaya perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia dalam waktu yang lama, sampai kemudian munculnya Hamzah dan Syamsuddin di Sumatera.
Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur -nama lain dari Barus-. Para peneliti tidak menemukan bukti yang valid kapan sebenarnya Hamzah lahir. Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17, yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan ‘Ala al-Din Ri’yat Syah (berkuasa 977-1011H/1589-1602M). Hamzah diperkirakan meninggal sebelum tahun 1016H/1607M.
Hamzah memulai pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan, karena saat itu Aceh berada dalam kemajuan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Kwalitas pendidikan yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapat mempelajari ilmu-ilmu agama seperti ; fiqh, tauhid, akahlak, tasawuf, dan juga ilmu umum seperti ; kesustraan, sejarah dan logika. Selesai mengikuti pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah kemudian melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab. Sehingga dia dapat menguasai bahasa Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu. Dalam hal tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi, murid Sadr al-Din al-Qunawi, murid kesayangan Ibnu Arabi.
Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di Aceh melalui lembaga pendidikan “Dayah” (pesantren) di Oboh Simpang-Kanan, yang merupakan cabang dari Dayah Simpang-Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekj Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkli. Hamzah ternyata tidak hanya berakfitas sebagai guru, namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh ‘lawan-lawannya’ yang menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.
Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Menurut Hamzah hakekat dari Zat Yang Maha Mutlak, Kadim dan pencipta alam semesta tidak dapat ditentukan atau dilukiskan. Dalam kaitan ini bagi Hamzah alam yang pada mulanya bersifat ruhani kemudian berubah berisifat jasmani adalah manifestasi dari zat Ilahi. Zat Ilahi menampung seluruh wujud, sehingga dalam aspek transenden zat Tuhan tidak bertepi. Pada aspek immanen zat Tuhan juga tidak terpisah dari alam. Lebih jauh Hamzah menjelaskan tahap-tahap hubungan Tuhan dengan manifestasi-Nya, alam.
Tahap pertama disebut la ta’ayyun, pada tahap ini Tuhan yang Esa belum berhubungan dengan alam. Lalu bagaimana Tuhan menciptakan alam, padahal suatu hal yang mustahil Tuhan sebagai Zat Yang Mutlak dari-Nya langsung muncul nakhluk-makhluk yang sifatnya relatif. Menurut Hamzah Penciptaan dari Zat Mutlak ke alam yang relatif membutuhkan tahapan-tahapan. Ia membagi tahapan-tahapan ini kepada lima tahapan yang disebut dengan ta’ayyun atau penampakan.
Pertama, ta’ayyun awwal yaitu Tuhan menampakkan diri-Nya melalui ilmu-Nya, sifat-Nya dan Nur-Nya, ide-ide ketuhanan pada tahap ini dalam pengajaran Syamsuddin Samatrani masih bersifat ijmali atau global. Kedua ta’ayyun tsani merupakan penampakan dalam diri Tuhan yang menghasilkan munnculnya pengetahuan terperinci tentang hakikat-hakikat alam (a’yyan tsabitah). Dalam pengajaran Hamzahditegaskan bahwa a’yan tsabitah tidaklah memiliki wujud aktual. Unsur ini merupakan pola-pola rancangan tetap dan lengkap tentang alam. Alam diwujudkan Tuhan secara aktual menurut pola-pola rancangan tersebut. Ketiga ta’ayyun tsalist, yaitu penampakan Tuhan dalam alam arwah, tahap ini terjadi di luar zat yang Mutlak sehingga dinamakan a’yan kharijah. Keempat, ta’ayyun rabi’ merupakan penampakan kepada seluruh makhluk, tapi masih dalam alam misal dan kelima, ta’ayyun khamis, penampakan Tuhan terakhir pada alam insan dan alam dunia.
Tahapan-tahapan dalam penciptaan ini hanyalah hirarki yang disusun untuk lebih mudah memahami, yang sebenarnya terjadi secara gradual dan seketika. Dengan pemikiran ini Hamzah menjelaskan bahwa penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu, sehingga keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk.
Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka adalah guru-murid. Abdul Azis juga membenarkan pendapat A. Hasymy bahwa hubungan Hamzah dengan Syamsuddin sebagai murid dan khalifah, karena menurutnya telah dijumpai dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah terhadap pengajaran Hamzah yaitu : Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya : Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwa Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi Deny Lombard. Syaikh banyak melahirkan karya bermutu seperti : Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahazah, Nur al-Daqaiq, Thariq al-Sahlikin, I’raj al-Iman dan karya lainnya. Syamsuddin menguasai beberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab.
Pemberian makna “Tiada wujud selain Allah” bagi kalimat tauhid la ilaha illa Allah hanya dilakukan oleh kalangan sufi penganut paham wujudiyyah saja, dan itu menjadi ciri khas yang membedakan kalangan penganut paham wujudiyyah dengan kalangan sufi lainnya. Pengakuan bahwa tidak ada wujud selain Allah disebut dalam pengajaran Syamsuddin sebagai tauhid hakiki (al-tawhid al-haqiqi) atau tauhid yang murni (al-tawhid al-khalish). Menurutnya, tauhid hakiki atau tauhid murni itu baru ada pada seseorang jika ia mengakui bahwa tidak ada pelaku atau pembuat selain Allah, tidak ada yang ditaati atau disembah selain Allah dan tidak ada wujud selain Allah.
Syamsuddin, dalam pengajarannya tentang maksud kalimat-kalimat tauhid itu, juga mengingatkan pengikutnya tentang perbedaan pendirian mereka sebagai penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin) dengan kaum yang ia sebut sebagai orang-orang zindiq. Menurutnya kedua pihak itu sepakat dalam hal menetapkan maksud kalimat tauhid la ilaha illa Allah, yakni tiada wujud selain Allah, sedangkan wujud sekalian alam adalah bersifat bayang-bayang, majazi atau fatamorgana, dibandingkan dengan wujud Allah.
Sedangkan paham kaum zindiq, wujud Tuhan tidak ada kecuali dengan kandungan wujud alam seluruhnya; semua wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam, baik dari segi wujud maupun dari segi ta’ayyun-ta’ayyun (penampakan-penampakan). Mereka menetapkan kesatuan hakiki dalam kejamakan alam tanpa membedakan martabat Tuhan dengan alam.
Paham demikian, menurut Syamsuddin adalah paham batil, tidak benar dan ditolak oleh penganut tauhid yang benar. Berdasarkan pendapat ini terkesan jauh-jauh hari sebelum Nuruddin al-Raniry mengkritik paham Syamsuddin sebagai mulhid, ia sendiri telah menjelaskan bahwa mana wujudiyyah mulhid dan mana yang muwahhid berdasarkan keterangan di atas.
Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah dikenal juga dengan pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya tentang ini agaknya samam dengan yang diajarkan al-Buhanpuri, yang diduga kuat sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori. Ketujuh martabat tersebut adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat alam insan.
Al-Buhanpuri pernah mengingatkan bahwa sebutan martabat ketuhanan tidak boleh dipakaikan untuk martabat alam dan begitu pula sebaliknya. Akan tetapi dalam karya al-Burhanpuri tidak dijelaskan secara implisit tentang itu. Syamsuddin sebagai penganut paham martabat tujuh ini di Nusantara telah mengkategorikan martabat ketuhanan dan martabat kemakhlukan seperti yang disimpulkan Abdul Aziz Dahlan. Menurutnya, secara eksplisit dalam karya Syamsuddin terlihat tiga martabat, pertama disebut anniyat Allah, yaitu martabat wujud aktual Allah, sedangkan empat martabat berikutnya disebut anniyah al-Makhluq, yaitu martabat wujud aktual makhluk.
Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam, dikenal dalam pengajaran Hamzah Fansuri la ta’ayyun. Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Alllah, yang merupakan kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur-adukkan martabat ketuhanan dengan martabat kemakhlukan.
3. Respon dan Pengaruh Paham Tasawuf Falsafi di Nusantara Pasca Hamzah dan Syamsuddin.

Ternyata Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani pada prinsipnya dikategorikan termasuk dalam aliran pemikiran yang sama, keduanya merupakan pendukung terkenal penafsiran mistikofilosofis wahdat al-Wuju. Walaupun sedikit ada perbedaan penekanan, keduanya sangat dipengaruhi terutama oleh Ibn ‘Arabi. Konsep inti ajaran mereka adalah kehadiran alam ini disebabkan serangkaian proses penampakan diri Tuhan. Ide ini pada perkembangan selanjutnya mendorong para penentang seperti al-Raniri untuk menuduh mereka sebagai panteis.
Dalam apandangan Nuruddin al-Raniri, pembahasan tentang wujud Allah dapat dibagi dua: wujudiyyah muwahhid dan wujuddiyah mulhid. Hamzah digolongkan pada wujudiyyah mulhid dan disebut zindiq. Menurut Aziz, Syamsuddin bersama pengikutnya tidak menyebut diri sebagai penganut paham wujudiyah, apalagi mulhid. Seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelum mereke yakin berada dalam tauhid yang benar dan memandang diri sebagai golongan al-muwahhidin al-shiddiqin.
Sepanjang menyangkut tuduhan itu, menurut Azra para peneliti terbagi dua pula. Pertama, peneliti Barat seperti Winstedt, Johns dan Bariend, berpendapat bahwa ajaran dan doktrin Hamzah dan Syamsuddin sesat. Kleim ini mendorong Abdul Aziz Dahlan untuk membuktikan bahwa ajaran Syamsuddin dan gurunya Hamzah, bisa dipertanggungjawabkan secara teologis. Kedua, al-Attas, menyatakan bahwa sebenarnya ketiga pemikiran Hamzah, Syamsuddin dan Al-Raniri adalah sama, ia tidak menyebut ajaran Hamzah dan Syamsuddin sesat. Pada gilirannya al-Attas malah menuduh al-Raniri melakukan distorsi dan menyebarkan fitnah dan tidak memahami wujudiyyah. Asumsi al-Attas ini mengobsesi Ahmad Daudi untuk menjelaskan pada dunia bahwa al-Raniri punya logika pembenaran sendiri yang menurutnya wajar kalau ia menuduh Hamzah dan Syamsuddin sesat. Tapi menurut Azra al-Attas buru-buru mengklarifikasi pendapatnya dalam buku yang berjudul “A Comentary on the Siddiq al-Nur al-Din al-Raniri” terbit tahun 1986, berarti sesudah tesis Daudi terbit. Dalam karya tersebut al-Attas memuji al-Raniri sebagai orang yang dikaruniai kebijakan dan diberkati dengan pengetahuan yang orisinil yang berhasil menjelaskan doktrin yang keliru.
Tidak juga bisa dikatakan dengan munculnya al-Raniri yang mengkritik dan “membumi hanguskan” paham tasawuf falsafi, lantas paham ini lenyap dan punah. Berdasarkan penelitian Taufik Abdullah menjelaskan bahwa setelah Sultan Iskandar Tsani wafat tahun 1642, tampil Syafiyatuddin Syah (1942-1975) permaisuri Iskandar Tsani yang menggantikannya. Diberitakan pada waktu itu Nuruddin al-Raniri meninggalkan Aceh sambil tergesa-gesa, menurut Bustan al-Salathin, rupanya seperti tercatat dalam diary opper-koopman Belanda, mangkatnya Iskandar Tsani memberikan kesempatan pada golongan moderat (Syamsuddin) untuk bangkit melawan arus intoleransi dan anti intelektual yang dilancarkan al-Raniri. Tampil pada waktu itu Syeikh Saifulrijal, ulama Minang, sebagai penasehat Sultanah atau ratu di Aceh dan menyebarkan pahamnya.
Jadi pada abad ke 16-17 M di Nusantara berkembang paham tasawuf falsafi yang bukan hanya di Aceh tapi di bagian wilayah lainnya di Nusantara. Meskipun ada usaha-usaha untuk menerapkan syari’ah – suatu yang tidak bisa dipisahkan dari lingkup Islam pada abad itu. Tulisan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin memberi dorongan pada kecenderungan ini, tidak bisa disimpulkan secara blak-blakan bahwa mereka mengindahkan syari’ah. Mereka telah membeirkan sumbangan pada kehidupan religio-intelektual kaum Muslimin abad ke-16 dan 17 M. (Penulis : Tenaga Pengajar IAIN Imam Bonjol Padang dan STKIP Padang, Sumatera Barat).

Senin, 09 Juli 2012

Ayah-ku

Assalamu'alaikum 

Kawan!.
Kugoreskan tulisan ini bukan untuk mempublikasikan ayahku (almarhum) yang pernah jadi selebritis, hehehe Tepatnya mungkin publik figur, soalnya beliau seorang aktor.  Opsss, tunggu dulu kawan. Janganlah cepat-cepat tertawa, atau galak sengeng cara Padang-nya.  

Benaran kok, aku tak bohong tentang ini. Ini kan soal ayahku, mana berani aku bohong tentang beliau. Beliau memang pernah jadi aktor. Beliau sendiri yang menceritakan, masih sangat segar dalam ingatanku. Bahkan sampai tiga kali beliau menceritakannya padaku, dua kali saat aku masih kelas enam SD dan sekali ketika sudah kelas satu SMP.    

Kawan-kawan tahukan, siapa itu aktor? Hahaha, pastilah tahu, percaya dech percayaaa. Seperti yang dijelaskan mamak Google, aktor itu pria yg berperan sebagai pelaku dalam pementasan cerita, drama, dsb di panggung, radio, televisi, atau film. Klopkan? Ayahku seorang pria, jadi nggak cocok kalau disebut aktris. hehehe.  Beliau pemeran utama pada sebuah sasaran Randai pada tahun 60-an di Tilatang Kamang. Sebuah group Randai yang hampir setiap Minggu mentas di panggung hiburan Tirtasari. Naaah, soal Tirtasari, pastilah banyak di antara kalian yang tak tahu bukan. Baiklah, kujelaskan sedikit seperti yang dijelaskan ayahku. 

Tirtasari, itu nama panggung hiburan yang terletak di tepian danau Sonsang. Sonsang, sebuah desa atau jorong di kaki bukit barisan Koto Tangah Tilatang Kamang. Dulu (akhir tahun 50-an s/d pertengahan tahun 60-an) panggung hiburan itu begitu ramai dikunjungi masyarakat setiap hari Minggu. Bupati Kabupaten Agam waktu itu juga sering datang ke sana. Bagaimana tidak, danau itu menyimpan beragam jenis ikan yang amat gurih rasa dagingnya. Setiap orang boleh saja menangkap ikan itu tanpa dipungut bayaran. Sambil memancing, dapat pula berbiduk bersampan ria. Sayang sekali, pertengahan tahun 60-an, dua remaja yang tengah asyik bercengkrama, tiba-tiba biduk mereka masuk ke pusaran air yang amat kencang. Mereka berdua lenyap dari permukaan air, lalu mengapung setelah jadi mayat. Sejak saat itu, Tirtasari jadi sekarat, lalu mati. Maka tamat pulalah riwayat keaktoran ayahku.

Aahh, sudahlah kawan, tak perlulah aku berpanjang betul soal Tirtasari itu, toh puing-puing kejayaannya juga sulit ditemukan hari ini, kecuali danaunya yang sudah bungin. Yang pasti, ia pernah menjadi tempat ayahku menapaki status jadi selebritis kampung. hehehe.

Kawan, tulisan ini kubuat sekedar menumpah kerinduanku yang membuncah pada beliau. Beberapa waktu yang lalu, aku ingat beliau. Ingat dalam arti rinduuu sekali. Entah apa penyebabnya, akupun tak tahu pasti. Padahal hampir setiap berdo'a, bagian dari baktiku sebagai anak, aku pintakan ampunan untuk beliau. Aku mohonkan pula pada Allah pemilik dunia dan akhirat, akan kenyamanan beliau di alam barzah. Hmmm, selama ini, sejak 'kepergian' beliau, boleh dikatakan setiap enam bulan sekali, aku bertemu dalam mimpi. Hanya saja, dalam setahun ini, aku tak pernah lagi berjumpa. Mungkin itu, ya mungkin itu yang menyebabkan aku tiba-tiba begitu rindu.

Yaaa, aku begitu rinduuu. Rindu pada suara tegasnya, rindu pada marahnya, rindu pula pada tatapannya. Ku akui, secara emosional aku tak begitu akrab dengan beliau. Ayahku memang begitu, seriusan. Kasih sayang beliau padaku sering diungkapkan dengan suara yang tegas, bahkan keras. Pernah pula kakiku balintah, kena lidi yang beliau pukulkan padaku karena kenakalanku. Tapi, sungguh, dari tatapan mata beliau saat melihatku, aku tau betul, beliau sangat menyayangiku. Begitu pula saat beliau kasak kusuk, cemas atau khawatir mencariku ke sana sini sampai tengah malam. Kala itu, aku tak mau pulang ke rumah, sehabis siangnya aku kena marah. Padahal aku sembunyi tak jauh dari rumah, sehingga aku masih sempat mengintip wajah cemas beliau karena belum juga menemukan anak bujang beliau.  Aku jadi kasihan juga, walau malam itu, aku memang tak pulang ke rumah.

Aah kawan. Sebagai anak laki-laki, aku memang tangka. Pernah pula ayahku itu ku 'ajak' pacu sepeda, lantas kutinggalkan beliau di belokan, lalu aku sembunyi di balik semak-semak di pinggir jalan bersama sepeda 'onta'ku. Sementara beliau terus mengayuh sepeda, dengan harapan anaknya sudah duluan sampai di rumah. Aku tak dapat membayangkan, betapa gurat kekecewaan memantul di wajah beliau, saat tak menjumpaiku di rumah. Padahal sudah tiga hari beliau mencariku yang tak pulang pulang. Amakku pun sudah menangis, kata beliau sebelum ku 'ajak' berpacu sepeda. Ayah..., maafkan aku, anak 'bujang'mu yang bandel ini.

Kawan!
Sungguhpun aku tak begitu akrab dengan beliau, aku sangat bangga dengan sosok ayahku. Sebagai kepala rumahtangga, beliau sangat bertanggungjawab, tentunya semampu beliau. Untuk memenuhi kebutuhan kami anak-anak beliau, karena belum ada cara lain, pernah berbulan-bulan berada di hutan maarik kayu. Sebagai laki-laki, beliau termasuk cerdas menurutku. Gimana tidak, sewaktu sekolah dua kali lompat kelas, satu kali semasa Sekolah Rakyat, dan sekali di SLTP. Alhamdulillah, kecerdasan itu pula yang menurun agaknya pada cucu beliau saat ini. Sebagai pemimpin, beliau sangat mengayomi masyarakatnya. Setahuku, di nagari-ku waktu itu, sebagai kepala desa beliau terlalu berani menghadapi todongan senjata api polisi, di kantor Polsek pula lagi. Ketika itu beliau tengah menjemput seorang warga yang ditangkap paksa oleh polisi, padahal kasusnya sudah diselesaikan secara kekeluargaan oleh ayahku.

Kemudian, sebagai seorang laki-laki Minang, sekalipun bukan seorang Penghulu/Datuak, beliau amat paham tentang seluk beluk adat di ranah yang beradat itu. Sebahagian telah beliau wariskan kepadaku dengan cara beliau pula. Masih sangat jelas dalam ingatanku,  pada hari-hari tertentu -terutama hari raya, semangat beliau mengayuh sepeda memboncengkan aku. Pergi mengunjungi  para dunsanak, lewat garis ibu ataupun bapak beliau. Lalu beliau perkenalkan aku pada mereka. Sambil menjelaskan, nan iko etek, mak uwo, apak, inyiak, dan sebagainya. Kata beliau, mereka juga dunsanakku. Jumlah mereka, wah banyak sekali. Tak hafal olehku semuanya. Sebagai seorang muslim, beliau wafat sesaat setelah melaksanakan shalat 'Ashar, walau dalam keadaan berbaring. Sebagai dan sebagainya lagi. Tak usahlah kusebutkan semuanya, nanti aku nampak kelewat membanggakan beliau. Tak baik pula kelihatannya. Yang pasti, beliau amat pantas kujadikan sebagai idolaku, setelah Muhammad SAW tentunya. 

Tetapi sayang sekali kawan. Sayang sekali. 
Beliau wafat pada usia yang sangat muda, sementara kami masih kecil-kecil. Beliau pergi sebelum sempat mengajarkan secara verbal hal-hal yang beliau 'miliki' kepadaku sebagai anak laki-laki. Padahal sebelumnya beliau telah berjanji untuk mengajarkan pada saat usiaku sudah 'cukup' menurut beliau. Beliau pergi terlalu cepat, jangankan untuk menimang cucu-cucu beliau, melihat kami dewasapun beliau tak pernah. Sementara aku, satu-satunya anak laki-laki beliau, juga belum sempat berbakti sekedar upaya membalas jasa jasa beliau. Bahkan sampai saat ini, ketika akupun telah jadi ayah bagi anak-anakku, sebagai wujud baktiku pada beliau, yang bisa kulakukan baru do'a. Ya, do'a yang kumohonkan pada Allah Ta'ala.  Di sisi lain, aku terlalu jauh dan lambat menapaki jejak kelelakian beliau. Jauh, jauh sekali.

Kawan!
Memory itulah yang menari-nari di pikiranku pagi itu. Di sebuah kota/kabupaten yang masih bersuhu dingin. Aku jadi tergugu, mataku terasa basah. Aku begitu rindu, rinduuu sekali. "Udaaa, kok wajahnya begitu, mengapa mata udaaa berkaca-kaca?", wanita yang amat kusayangi itu bertanya penuh kasih. Kupaksakan tersenyum padanya, lalu kupeluk ia dengan rasa cinta. "Tiba-tiba uda ingat ayah" jawabku setengah berbisik. Lalu kutatap wajah wanita itu. Wanita yang tak pernah mengenal ayahku, wanita yang juga tak sekalipun melihat wajah ayahku. Di luar dugaanku, tiba-tiba matanya menggenang. Lalu setetes merambat di sudut kedua matanya.  Perasaanku? Entahlah. Tak ada kosa kata yang dapat mengungkapkannya secara sempurna. 

AKU RINDUUU. Rindu pada ayahku. Rindu pada kelelakian beliau.

Catatan :
Galak sengeng = senyum kejut, yang juga bisa bermakna mengejek.
Mamak = paman
Sasaran = padepokan, tempat latihan yang juga sesekali dijadikan tempat pertunjukan
Randai = seni drama tradisional Minangkabau
Bungin = dangkal karena ditumbuhi rerumputan.
Balintah = memar dan bengkak bekas pukulan lidi.
Tangka = bandel
Amak  = ibu
Maarik = menggergaji
Nagari  = wilayah pemerintahan adat di Minangkabau
Penghulu/Datuak = kepala kaum dalam adat Minangkabau
nan iko = yang ini 
etek  = adik perempuan ayah
mak uwo = kakak perempuan ayah
apak = adik atau kakak laki-laki ayah
inyiak = orangtua laki-laki dari ayah 

Ciputat, Senin, 9 Juli 2012

Sabtu, 07 Juli 2012

Bukittinggi-ku

Bukiktinggi Koto Rang Agam,
satu sebutan untukmu, begitu istimiwa untukku
kau lah kota dalam ranah kelahiranku,
karenanya, kerinduan padamu tak pernah pupus.

Kota mungil nan indah,
bukit-bukit kecil dan lurahmu ditata unik oleh-Nya.
membuatku begitu asyik menelusuri seluruh kelok dirimu.

Sesak napasku menapaki jenjangmu yang empat puluh,
menguatkan urat-urat jiwaku, mengokohkan tulang-tulang kehidupanku.

kumandang azan Mesjid Raya di Pasa Ateh,
menyejukkan jiwa yang dibakar terik Matahari.
sembah sujud dalam rumah suci itu adalah ketentraman hati.

Duduk berjuntai di bawah maskot Jam Gadang
membuatku damai mamandang Singgalang dan Merapi.
melambungkan citaku yang selalu melampaui kedua puncak gunung itu.

berteduh di bawah keangkuhan Fort Decok-mu, ternyata menghadirkan kenyamanan,
naungan dedauan pinus bersama belaian anginnya adalah keheningan.

bergegas menuruni Pasa Lereng, membangkitkan selera kulinerku
katupek bagulai Kapau, lompong sagu jo lapek bugih, dimana lagi kudapatkan?
ahayyy, mengenangnya saja 'jakun'ku turun naik.

maka saat ku harus pulang ke 'rumah' nan abadi
lengkap sudah semuanya.

hmm, betapa bahagia
saat semua kujalani bersama-'mu'.


                              Padang, 30 April 2012.

Kota-ku